-

Google Ads

.

Nasehat Bijak Pendekar Bongkok



Postingan kali ini adalah tentang seri kumpulan nasehat-nasehat  bijak, pesan moral dan petuah yang berasal dari kisah buku cerita silat kuno karya Khoo Ping Hoo, serial Bukek Siansu (無極先師), Pendekar Bongkok (駝背英雄) seri 1 sampai dengan seri 33. Mohon maaf jika ada yang kekurangan dan ketidak lengkapan dalam merangkum kumpulan nasehat bijak yang ada pada kisah Bukek Siansu Pendekar Bongkok karya Asmaraman Sukowati Khoo Ping Hoo.



  • Tubuh kita meru­pakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita peliha­ra sebaiknya luar dalam.
  • Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan ma­sih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya.
  • Yang dimaksud pelajaran sastra pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-ki­tab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pela­jaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar ha­nya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, ja­rang yang dapat mengerti secara menda­lam. Apa lagi menghayatinya!
  • Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup! Kekenyangan yang dirasakan hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar kekuasaan dan sebagai­nya. Makin diberi, semakin merasa ku­rang dan menghendaki yang lebih!
  • Kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak.
  • Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datang­lah duka karena kehilangan.
  • Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka.
  • Sejak lahir memang kita sudah disertai nafsu-nafsu, karena sesungguhnya nafsu-nafsu merupakan pendorong bagi kita untuk dapat hidup di dunia ini. Nafsu adalah kemelekatan kita kepada kebutuhan hidup di dunia, kebutuhan badan. Kemelekatan pada benda, pada makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, nafsu-nafsu ini setelah merasakan segala macam kesenangan melalui badan manusia, lalu ingin menguasai manusia, mencengkeram dan memperhamba manusia sehingga jiwa manusia yang murni terselubung oleh hawa nafsu, menjadi lemah dan tidak berdaya. Kalau jiwa yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhannya itu terselubung, maka Kekuasaan Tuhan yang berada di dalam diri tidak dapat bekerja dengan sempurna. Maka nafsulah yang berkuasa, dan di dalam setiap gerak gerik kita, selalu nafsu yang menjadi pengemudinya!
  • Si-aku adalah hasil dari akal pikiran dan rasa perasaan bahwa “aku ada”, bahwa di dalam jasmani ini yang meliputi juga akal pikiran dan perasaan, terdapat “sesuatu” yang membuat jasmani ini hidup. Namun, karena rasa diri ada ini dinyatakan melalui perasaan hati dan akal pikiran, maka rasa diri ini terbungkus oleh nafsu. Perasaan hati dan akal pikiran tidak pernah dapat terpisah dari pengaruh daya-daya rendah, yaitu keduniawian yang timbul dari kebendaan yang kita butuhkan dalam kehidupan, makanan dan hubungan antar manusia. Daya-daya rendah inilah yang menyerap ke dalam perasaan hati dan akal pikiran sehingga perasaan diri ada atau si-aku inipun mengandung nafsu-nafsu.
  • Betapapun pandainya manusia berusaha, dengan segala reka usaha dan ikhtiar untuk melepaskan cengkeraman daya-daya rendah yang membentuk nafsu, nanun jarang sekali ada yang berhasil. Sebagian besar menemui kegagalan dan mendapatkan bahwa semua usaha itu akhirnya hanya membawa dirinya ke dalam alam kekosongan belaka. Hal ini adalah karena usaha dan ikhtiar itupun merupakan pekerjaan akal pikiran belaka, dan karenanya diboncengi pula oleh daya-daya rendah itu! Jadi, tidak mungkin da­ya-daya rendah melanyapkan dirinya sendiri, tidak mungkin mengesampingkan pikiran dangan berpikir! Kiranya, satu-satuaya jalan bagi kita hanyalah penyerahan kepada Yang Maha Kasih, Yang Maha Kuasa. Tuhan pencipta segala yang ada dan tidak ada, yang nampak dan ti­dak nampak. Karena kekuasaan Tuhan meliputi di dalam dan di luar diri kita, maka kiranya hanya kekuasaan Tuhan sa­jalah yang akan mampu menolong kita, yang akan mampu mengatur agar pengaruh nafsu daya rendah tidak lagi mencengkeram hati dan akal pikir sehingga saga­la sepak terjang kita dalam hidup, ti­dak lagi dikemudikan oleh nafsu daya rendah, melainkan dikemudikan atau dibimbing oleh kekuasaan Tuhan!
  • Betapa kekuasaan Tuhan amatlah hebatnya, tak terukur dan menyusur ke dalam segala benda, bergerak tiada hentinya, nampak kadang-kadang kacau namun sebenarnya mengan­dung ketertiban yang mujijat, tak per­nah keliru, dan mengandung keadilan yang setepat-tepatnya walaupun kadang-kadang berada di luar pengetahuan akal pikiran manusia.
  • Arti pasrah bukan berarti kita lalu membonceng kekuasaan Tuhan begitu saja lalu kita tertidur dan masa bodoh! Sama sekali tidak! Tuhan menciptakan kita sebagai mahluk bergerak, beranggauta badan lengkap, berakal pikir, maka semua itu harus kita pergunakan. Hal itu merupakan suatu kewajiban! Kita tidak benar sama sekali kalau mempersekutu kekuasaan Tuhan. Biar kekuasaan Tuhan bekerja dan kita enak-enakan, bermalas-malasan. Ini merupakan akal-akalan dari si-akal pikir yang dikuasai nafsu rendah! Kita bekerja, kita berusaha, kita berikhtiar dalam segala bidang. Namun, harus selalu kita ingat bahwa apapun jadinya, apapun hasilnya, apapun akibatnya dari setiap usaha ki­ta, berada di tangan Tuhan! Tuhanlah yang menentukan pada akhirnya dan kalau kita menerima dangan pasrah, dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan tak akan pernah keliru mengatur, maka hasil atau akibat apapun yang kita terima, akan kita terima dangan hati terbuka, penuh kepasrahan pula, penuh rasa syukur!
  • Kebahagiaan tak mungkin dicari, tak mungkin dikejar dangan usaha akal pikiran! Akal pikiran yang digerakkan nafsu selalu hanya membutuhkan KESENANGAN, dan kesenangan sama sekali bu­kanlah kebahagiaan, karena kesenangan itu pendek sekali umurnya. Kesenangan segera digilir dangan kesusahan, kepuasan diikuti kekecewaan. Kebahagiaan hanyalah suatu keadaan di mana perasa­an hati dan akal pikiran tidak lagi menguasai jiwa, kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang sudah bersatu dangan Tu­han, seperti setetes air yang sudah kembali ke samudera! Tidak butuh apa-apa lagi karena segalanya sudah terca­kup di dalamnya! Dan semua ini hanya­lah kekuasaan Tuhan yang mampu menga­turnya, dan kita, dengan segala per­lengkapan kita, termasuk nafsu-nafsu daya rendah, hanya mampu MENYEBAR dengan PASRAH. Titik.
  • Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di ang­kasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelap­kannya sama sekali.
  • Ketahyulan adalah suatu kebodoh­an. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka mun­cul dan mengganggu manusia secara jas­maniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut ter­hadap gangguan iblis karena yakin bah­wa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan ib­lis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong un­tuk memuja iblis, setidaknya menghor­matinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul mengha­dapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya
  • Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan ke­mungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut. Rasa takut timbul dari pi­kiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkin­an buruk masa depan. Orang yang hidup di saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan a­lat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi ke­selamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi sua­tu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergeli­mang nafsu itu menguasai jiwa.
  • Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimana­pun juga, karena pikirannya tidak per­nah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, memba­yangkan dan diapun menjadi takut.
  • Pikiran merupakan sebuah gudang dimana kita menyimpan hal-hal yang kita ketahui melalui pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, melalui bacaan, penuturan dan sebagainya. Tentu saja kita tidak mungkin dapat menemukan sesuatu yang berada di luar gudang, yang kita temukan hanyalah barang-barang timbunan dalam gudang itu.
  • Pikiran hanya merupakan alat pelengkap hidup, bagaikan amat perekam. Kita hanya mampu memutar kembali sagala yang pernah kita rekam melalui alat itu, tidak mungkin kita dapat menemukan hal-hal yang tidak pernah direkam. Oleh karena itu, betapapun cerdik pandainya pikiran, betapapun lincah dan liciknya, gerakannya hanyalah berputar-putar di dalam lingkaran gudang itu saja. Sia-sialah mengharapkan untuk menemukan sesuatu melalui pikiran, sesuatu yang baru, yang belum terekam, belum pernah tertimbun di dalam gudang ingatan.
  • Orang yang melaku­kan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorong­nya melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batin­nya sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat.
  • Pikiran hanya alat dalam kehidupan ini, namun pikiran sudah bergelimang dengan daya rendah sehingga menjadi budak dari nafsu. Perbuatan apapun yang dilakukan menurut pikiran tentu mengandung nafsu, karena pikiran sendiri sudah bergelimang naf­su. Karena akibat dari perbuatan yang dikemudikan nafsu ini, yang dasarnya mengejar kesenangan dan kepuasan, menuju ke arah kerugian lahir batin, maka timbul penyesalan dan keinginan bertaubat. Penyesalan dan bertaubat ini selalu muncul kalau akibat dari pada perbuatan berdasarkan nafsu itu datang menimpa diri. Namun, kalau hanya pikiran yang berjanji untuk bertaubat, biasa­nya hal itu hanya sementara saja dan akan tiba saatnya pikiran melupakan janjinya atau sengaja melanggar karena tidak mampu menahan desakan nafsu.
  • Penyesalan dan bertaubat baru ada gunanya kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan! Hanya Tuhanlah yang akan dapat membersihkan pikiran dari cengkeraman daya rendah. Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur segala Besuatu menjadi beres dan tertib, sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing. Sebaliknya, pikiran tidak mungkin dapat menertibkan diri sendiri, karena usahanya itupun masih dalam tuntunan nafsu. Keinginan akan sesuatu, itulah sifat nafsu. Ingin begini atau tidak ingin begini masih sama saja, ditujukan untuk mencari kesenangan, kee­nakan, kepuasan. Ingin bebas dari nafsu! Inipun merupakan ulah nafsu! Yang “ingin” bebas inipun nafsu, dengan ha­rapan bahwa kalau bebas dari nafsu itu tentu menyenangkan, tidak menyusahkan, dan segala harapan yang enak-enak. Ma­ka terjadilah keinginan bebas dari nafsu yang diinginkan oleh nafeu. Jelas tidak mungkin! Selama ada keinginan a­kan sesuatu, di situ nafsu bekerja dan merajalela.
  • Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukanlah kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanann yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan ke­pribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.
  • Orang yang sudah menjadi hamba nafsunya, akan merasa tersiksa kalau dia dalam waktu lama tidak berkesempatan untuk memuaskan gairah nafsu itu. Pemuasan nafsu itu sudah sedemikian dibutuhkannya, sudah mencengkeramnya se­hingga dia menjadi kecanduan. Hidupnya akan terasa hampa dan tidak ada arti­nya, tidak ada kesenangan kalau dia tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk memuaskannya.
  • Lingkungan mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap watak seseorang. Manusia merupakan mahluk yang tera­gung, terpandai akan tetapi juga amat lemahnya. Karena dalam dirinya terkan­dung daya-daya rendah yang memupuk nafsu yang sudah menyatu dengan hati perasaan dan akal pikirannya, maka mudah sekali manusia terpikat dan terpenga­ruh oleh keadaan lingkungannya. Terutama sekali lingkungan yang tidak sehat mudah sekali menyeret seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan­nya. Segala tindak kemaksiatan memang mendatangkan kesenangan lahir dan ini memang merupakan umpan dari setan naf­su untuk memikat manusia. Karena itu, mudah sekali lingkungan yang sesat me­nyeret seseorang, biarpun orang itu tadinya alim dan tidak suka melakukan kesesatan. Bahkan lingkungan yang sehat dan bersih, biarpun daya tariknya ti­dak sekuat lingkungan yang sesat, te­tap saja dapat mempengaruhi seseorang untuk menyesuaikan diri.
  • Kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia i­ni.
  • Badan ini hanya sebuah tempat, sebuah rumah. Semua daya rendah, panca indrya, hati, akal pikiran dan nafsu-nafsunya, hanya merupakan alat-alat dalam rumah. Penghuni rumah yang menguasai semua alat itu sesungguhnya adalah jiwa! Jiwa menjadi majikannya, nafsu, hati dan akal pikiran menjadi pelayan dan alat. Namun sungguh sayang, karena kita sudah lupa bahwa kita ini jiwa, lupa karena setiap hari dipermainkan oleh nafsu akal pikiran yang merajale­la dan merebut kekuasaan menjadi majikan dalam badan kita. Kita ini bukan pikiran. Pikiran bisa mati namun badan tetap hidup. Sebaliknya, kalau jiwa meninggalkan badan, semua pelayan dan alat itupun akan mati. Dalam keadaan tidur atau pingsan, hati akal pikitan untuk sementara seperti mati, tidak bekerja. Namun, kita tetap hidup karena jiwa masih bersemayam di dalam badan. Kita tidak pernah memiliki rasa diri ini, lupa akan keadaan yang lebih dalam karena kita selalu terseret oleh keadaan lahir yang dangkal saja, kare­na dipermainkan nafsu yang selalu me­ngejar kesenangan dangkal.
  • Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan.
  • Hanya dengan cara penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Tuhan, dan segala kehendak Tuhan pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.
  • Biarpun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, namun semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang di­dirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun ti­dak secara terang-terangan.
  • Kalau Tuhan menghendaki. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di alam semesta, akan tetapi manusia ti­dak memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat daripada usaha manusia.
  • Di tempat yang paling tinggi maupun paling rendah, dalam benda yang paling besar sampai yang pa­ling kecil, di atas langit maupun di bawah bumi terdapat kekuasaan Tuhan.
  • Dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makan­an, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang me­ngeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja. Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini bera­sal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, dalam tanah, tedapat kekuasaan Tuhan, yaitu energi yang maha dahsyat itu! Dan dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Tuhan menghendaki, maka tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, cu­kup untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
  • Hanya o­rang yang tidak pernah hidup dalam ke­kurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
  • Apapun yang terjadi kepada diri kita sudah dikehendaki o­leh Tuhan! Dan segala kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan segala kehendak Tuhan merupakan berkah. Otak kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur, untuk menilai, untuk membuka tabir raha­sia yang menyelubungi pekerjaan yang dilakukan kekuasaan Tuhan. Akal pikir­an kita bergelimang nafsu daya rendah, maka apabila kita menilai, penilaian itupun bergelimang nafsu dan tentu saja hanya ingin senang sendiri. Penilaian seperti itu menimbulkan baik buruk, untung rugi. Kita tidak tahu apakah ar­tinya suatu peristiwa yang menimpa di­ri kita. Yang nampak buruk belum tentu buruk, mungkin mengandung hikmah, me­ngandung berkah tersembunyi. Yang nam­pak baik belum tentu seperti yang di­nilainya, mungkin mengandung ancaman. Jadi, apapun yang terjadi pada diri kita, mari kita serahkan kepada kekuasa­an Tuhan dengan penuh kepasrahan, dan mari kita bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan.”
  • Betapa setiap orang manusia sela­lu INGIN menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa seti­ap orang manusia haus akan hal ini. Dari seorang kanak-kanak sampai tua ren­ta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut a­kan kehilangan arti dirinya, takut un­tuk menjadi sesuatu yang BUKAN APA-APA. Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang terpenting, terpan­dai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbul­kan konflik dan perebutan, persaingan dan permusuhan antara manusia. Justeru keinginan untuk menjadi yang “ter” inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berar­ti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat memasukinya. Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak a­da, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih? Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat memenuhi­nya? Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuh­nya bahwa kita ini sesungguhnya “bukan apa-apa”, bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan “aku” ini hanya­lah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah? Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hu­bungan kontak dengan Tuhan? Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melaku­kan ini, karena pikiran hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!
  • Demikianlah hidup. Semua itu hanya ba­yangan, seperti awan berarak di angka­sa, hanya selewat saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, ha­nya selewat. Bukan, bukan itulah hake­kat hidup. Semua yang terjadi itu ha­nyalah permainan nafsu atas badan. A­khirnya, semua itu akan musna, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya dalam hidup ini? Dan apa yang telah diperolehnya selama i­ni? Hanya kepahitan, hanya penderitaan lahir batin. Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu semua bukan, hanya khayalan kosong belaka. Bayangan kesenangan hanyalah muka kembar ke dua dari kesusahan, mereka nampaknya bertolak belakang, namun tak terpisahkan.
  • Apakah dia harus menjadi patah semangat, menjadi mandeg dan mogok, ma­las melanjutkan kehidupan? Tidak, sama sekali tidak! Bahkan dia harus dapat menikmati kehidupan ini, saat demi sa­at. Dia harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya. Dia akan berjalan terus dengan tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa di luar jangkauannya, menikmati setiap langkah hidupnya. ­Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, patut disyukuri, tak perlu dike­luhkan. Kehendak Tuhan jadilah! Dia melangkah terus dalam kehidupan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepada Tuhan. Kekuasaan Tuhan akan menggantikan hati dan akal pikirannya.

0 Response to "Nasehat Bijak Pendekar Bongkok"

Posting Komentar

wdcfawqafwef